Nota Hati Seorang Isteri
www.iluvislam.com
Tuan Mohd Rezza
Editor: arisHa27
Nabi s.a.w bersabda yang bermaksud:
“Sebaik-baik kamu adalah kamu yang terbaik kepada keluarganya, dan aku adalah orang yang paling berbuat baik untuk keluargaku!”
(Hadith Riwayat Tirmidzi)
Berbuat baiklah kepada setiap insan dan sesama manusia tidak kiralah siapa kita dan ianya sepatutnya dilatih seawal peringkat institusi keluarga lagi. Di dalam setiap kualiti yang boleh diukur pada jati diri seorang muslim, manusia yang dianggap terbaik oleh seorang Nabi, utusan Allah, adalah manusia mukmin yang berlaku baik kepada keluarganya.
Kebaikan adalah lawan setiap kejahatan, keburukan, atau kekurangan. Baik dalam erti kata sabar, ikhlas dan redha dalam menangani segala masalah atau dugaan yang mendatang dalam melayari kehidupan yang fana ini.
Setiap perkara yang terjadi di dalam kehidupan ini adalah atas ketentuan-Nya bagi menguji kesabaran dan keikhlasan kita kepada tujuan hidup utama sebelum mati. Mati bererti berhenti, berhenti dari menikmati dan mengecapi kehidupan sebagai hamba-Nya yang sentiasa diuji.
Manusia yang sekeras batu pun hatinya, pasti akan lentur lembut dengan kebaikan. Batu yang mengalir padanya air walaupun setitis demi setitis akan terhakis sedikit demi sedikit sifat kerasnya. Jangan batu dibalas batu, nanti berkecai jadinya. Sebaliknya yang harus ada adalah sifat sabar.
Isteri dan anak adalah amanah yang harus dipelihara dengan baik. Kesilapan dan kekurangan mereka hendaklah dipantau. Hubungan yang kukuh di antara imam dan makmum membolehkan proses membetulkan antara satu sama lain dilakukan dengan baik oleh imam. Begitulah perihalnya dengan bapa atau suami dengan isteri dan anaknya.
Mulakan kewajipan membetul itu dengan membina hubungan terlebih dahulu. Sebagaimana jemaah menolak untuk dipimpin oleh imam yang dibenci, begitu jugalah isteri dan anak akan menolak nasihat dari seorang lelaki ‘asing’ bernama suami dan ayah.
PERANAN SUAMI DAN ISTERI
Tugas mendidik, mengurus rumahtangga, dan menyiapkan rohani anak-anak bukan sahaja terletak pada bahu si isteri sahaja, tetapi suami yang lebih daya kekuatan berbanding perempuan. Ramai lelaki terlepas pandang perkara ini kerana alasan sibuk.
Bila kita tengok zaman sebelum 70-an atau 80-an, memang kebanyakan wanita adalah suri rumah sepenuh masa. Kaum lelaki merupakan satu-satunya sumber kewangan keluarga. Masa itu mungkin susah benar untuk kita hendak mendengar suami menolong membuat kerja rumah apatah lagi untuk ke dapur.
Namun keadaan telah berubah di atas faktor pendidikan, sosio-ekonomi dan politik, wanita telah terjun ke bidang pekerjaan masing-masing. Malah ada di antara mereka yang menerajui sumber kewangan keluarga. Namun begitu, wanita tetap setia dengan kerja rumah dan dapur. Para suami masih lagi dianggap sebagai membantu isteri di rumah dan bukannya isteri yang membantu suami.
Adakah memang fitrah wanita itu dijadikan untuk menguruskan rumah, memasak, menyidai kain dan sebagainya? Manakala lelaki pula hanya diciptakan untuk bekerja atau cari nafkah keluarga semata-mata?
Dari zaman Nabawiyah lagi wanita sudah menjadi usahawan yang berjaya, berperang bersama lelaki di medan perang dan menjadi ahli ilmu dan periwayat hadith. Oleh itu, tidak tepat untuk mengatakan kaum Hawa telah berevolusi untuk mampu melakukan apa yang tidak mampu dilakukan sebelum ini. Soal kemampuan dan pencapaian wanita dalam masyarakat harus dilihat dan dibincangkan berdasarkan latar masa dan sejarah masyarakat ketika itu.
Dalam konteks di Malaysia, bukankah dari dulu lagi lelaki dan wanita sudah bekerja bersama-sama di sawah padi dan bendang. Ibu-ibu juga menjadi pendidik dengan mengajar anak-anak agama dan mengaji. Semua ini sesuai dengan keadaan sosio-ekonomi masyarakat waktu dahulu berdasarkan pertanian dan unit-unit sosial yang tertumpu di kampung dan luar bandar.
Tidak timbul polemik pada zaman itu tentang wanita yang merasakan hidup mereka ditekan dan peluang untuk mengembangkan potensi diri mereka disekat. Struktur sosial yang sedia ada cukup mencapai tujuan sosial dan permintaan ekonomi waktu itu.
Zaman telah berubah, dan wanita hari ini memainkan peranan yang berbeza dalam sebuah negara yang demokratik dan mengamalkan sistem ekonomi kapitalis. Seharusnya tidak timbul masalah tentang penyertaan wanita dalam kemajuan masyarakat kerana hak-hak mereka dalam pendidikan, pemilikan harta dan hak di sisi undang-undang semuanya dijamin dan dipertahankan oleh Islam.
Masalah dan polemik yang timbul selalunya berkisar tentang sejauh mana penyertaan wanita dalam ekonomi memberi kesan kepada keluarga dan anak-anak, bagaimana wanita membahagikan masa antara kerjaya dan anak-anak di rumah, dan sebagainya. Terpulang kepada wanita itu untuk mencari jawapan kepada persoalan-persoalan ini.
seorang murabbi di bumi sk senawang, mendekati anak didikku.. laksana lilin yang menerangi cahaya malam......
18 Februari 2010
03 Februari 2010
MENJUAL WAKTU DENGAN PAHALA
Oleh Muhammad Nuh
Sumber: Dakwatuna
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-hadid: 16)
Maha Suci Allah yang menggantikan malam dengan siang dan sore pun menyongsong malam. Hari berlalu menyusun pekan. Hitungan bulan-bulan pun membentuk tahun. Tanpa terasa, pintu ajal kian menjelang. Sementara, peluang hidup tak ada siaran ulang.
Siap atau tidak, waktu pasti akan meninggalkan kita
Sejauh apa pun satu tahun ke depan jauh lebih dekat daripada satu detik yang lalu. Karena waktu yang berlalu, walaupun satu detik, tidak akan bisa dimanfaatkan lagi. Ia sudah jauh meninggalkan kita.
Begitu pun dengan berbagai kesempatan yang kita miliki. Pagi ini adalah pagi ini. Kalau datang siang, ia tidak akan pernah kembali. Kalau kesempatan di pagi ini lewat, hilang sudah momentum yang bisa diambil. Karena, belum tentu kita bisa berjumpa dengan pagi esok.
Itulah yang pernah menggugah Umar bin Abdul Aziz. Suatu malam, karena sangat lelah, Umar menolak kunjungan seorang warga. “Esok pagi saja!” ucapnya spontan. Khalifah Umar berharap esok pagi ia bisa lebih segar sehingga urusan bisa diselesaikan dengan baik.
Tapi, sebuah ucapan tak terduga tiba-tiba menyentak kesadaran Khalifah kelima ini. Warga itu mengatakan, “Wahai Umar, apakah kamu yakin akan tetap hidup esok pagi?” Deg. Umar pun langsung beristighfar. Saat itu juga, ia menerima kunjungan warga itu.
Kalau kita menganggap remeh sebuah ruang waktu, sebenarnya kita sedang membuang sebuah kesempatan. Kalau pergi, kesempatan tidak akan kembali. Ia akan pergi bersama berlalunya waktu. “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.” (Al-Ashr: 1-2)
Siap atau tidak, jatah waktu kita terus berkurang
Ketika seseorang sedang merayakan hari ulang tahun, sebenarnya ia sedang merayakan berkurangnya jatah usia. Umurnya sudah berkurang satu tahun. Atau, hari kematiannya lebih dekat satu tahun. Dalam skala yang lebih luas, pergantian tahun adalah berarti berkurangnya umur dunia. Atau, hari kiamat lebih dekat satu tahun dibanding tahun lalu.
Ketika jatah-jatah waktu itu terus berkurang, peluang kita semakin sedikit. Biasanya, penyesalan datang belakangan. “Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan: ‘Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.” (Al-Fajr: 23-24)
Tak banyak yang sadar, begitu banyak peluang menghilang
Kadang, seseorang menganggap biasa mengisi hari-hari dengan santai, televisi, dan berbagai mainan. Bahkan ada yang bisa berjam-jam bersibuk-sibuk dengan video game. Sedikit pun tak muncul rasa kehilangan. Apalagi penyesalan.
Padahal kalau dihitung, amal kita akan terlihat sedikit jika dibanding dengan kesibukan rutin lain. Dengan usia tiga puluh tahun, misalnya. Selama itu, jika tiap hari seorang tidur delapan jam, ternyata ia sudah tidur selama 87.600 jam. Ini sama dengan 3.650 hari, atau selama sepuluh tahun. Dengan kata lain, selama tiga puluh tahun hidup, sepertiganya cuma habis buat tidur.
Jika orang itu menghabiskan empat jam buat nonton televisi, setidaknya, ia sudah menonton televisi selama 43.200 jam. Itu sama dengan 1.800 hari, atau lima tahun. Bayangkan, dari tiga puluh tahun hidup, lima tahun cuma habis buat nonton teve. Belum lagi urusan-urusan lain. Bisa ngobrol, curhat, ngerumpi, jalan-jalan, dan sebagainya.
Lalu, berapa banyak porsi waktunya buat ibadah? Kalau satu salat wajib menghabiskan waktu sepuluh menit, satu hari ia salat selama lima puluh menit. Ditambah zikir dan tilawah selama tiga puluh menit, ia beribadah selama delapan puluh menit per hari. Jika dikurangi sepuluh tahun karena usia kanak-kanak, ia baru beribadah selama 1.600 jam. Atau, 1,8 persen dari waktu tidur. Atau, 3,7 persen dari lama nonton teve.
Betapa banyak peluang yang terbuang. Betapa banyak waktu berlalu tanpa nilai. Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran.” (Al-Ashr: 1-3)
Tak seorang pun tahu, kapan waktunya berakhir
Tiap yang bernyawa pasti mati. Termasuk, manusia. Kalau dirata-rata, usia manusia saat ini tidak lebih dari enam puluhan tahun. Atau, setara dengan dua belas kali pemilu di Indonesia. Waktu yang begitu sedikit.
Saatnya buat orang-orang beriman memaknai waktu. Biarlah orang mengatakan waktu adalah uang. Orang beriman akan bilang, “Waktu adalah pahala!”
langkah kita bersama, menuju jalan yang satu
tika kini manusia dilimpahi dengan mehnah dan keseronokan dunia, membuatkan diriku sedar bahawa masih terlalu banyak tugas dan kewajipan yang belum lagi aku jalankan. terngiang2 akan kata-kata naqib aku, Akh Usamah, bahawa aku ini lebih cenderung ke arah perkara yang mudah sahaja tetapi tidak menanggung atau menerima tanggungjawab yang berat. Mungkin kata-katanya ada kebenaran jua. Namun aku berharap agar aku dapat memperbaiki diriku supaya lebih cintakan akn mu Ya Allah....
Langgan:
Catatan (Atom)